oleh:
Ahmad Naufal Alfarisi
Lembaga
Sensor Film (LSF) memiliki tugas untuk mengontrol apa yang akan dikonsumsi publik
memalui media hiburan untuk melindungi masyarakat dari tayangan-tayangan yang
subversif dan kontroversial. Tugas ini banyak menimbulkan Pro atau Kontra bukan
kali ini saja pemerintah dan Kementerian Komunikasi dan Informatika menuai
polemik soal sensor-menyensor film. Hal ini beberapa kali menjadi musuh bersama
bagi para pekerja film dan bagi masyarakat sebagai konsumen produk-produk
perfilman. Ada dua masalah yang menjadi bagian penting yang akan dikonsumsi
publik dalam media hiburan yaitu masyarakat itu sendiri sebagai konsumen dan
pemerintah yang menjalankan tugas mengontrol film. Masalah pertama, masyarakat yang
pasif dan naif tentang film apa yang dikonsumsi dianggap sebagai pihak yang “bodoh”
sehingga harus mendapat tuntunan tentang apa yang dapat mereka konsumsi. Asumsi
ini seringkali salah karena pada kenyataannya, pihak yang paling mengetahui
baik atau buruknya sesuatu barang adalah masyarakat itu sendiri sebagai
konsumen. Masalah kedua, asumsi bahwa pemerintah tahu pasti apa yang baik dan
buruk bagi masyarakat. Memang banyak orang menganggap negara harus menjadi
pedoman dan tempat bernaung yang absolut bagi rakyatnya. Tapi kita sering lupa
bahwa yang menjalankan negara adalah manusia biasa juga, yang tidak luput dari
kesalahan dan bias-bias tertentu. Inilah sebabnya pada beberapa kasus, lembaga
sensor terkadang menjadi alat manipulasi dan propaganda bagi kepentingan-kepentingan
politik pemerintah sehingga membuat rusak kualitas film bahkan menjadi
kepentingan golongan tertentu.
Banyak masyarakat
yang menganggap pihak yang memiliki wewenang dalam sensor-menyensor yang ada di
media hiburan publik selama ini terlalu berlebihan sehingga membuat film
semakin tidak menarik lagi untuk ditonton dan menyebabkan berkurangnya kualitas
film dan ada pula pihak yang setuju dengan hal ini karena pasar sasaran film
yang ada di Indonesia yaitu mayoritas kalangan anak muda sehingga menjadi
penting dalam menjaga moral dan karakter bangsa. Segala hal yang berbau negatif
selalu di minimalkan bahkan dihilangkan. Oleh karena itu, lembaga sensor
dibentuk yakni untuk menepis segala ide dan gagasan yang berbeda. Orang-orang
yang memiliki kekuasaan biasanya tidak nyaman dengan segala sesuatu yang baru
dan ide-ide yang terdengar asing, terutama bila ide-ide itu berpotensi mengubah
tatanan kuasa dan keistimewaan yang sedang mereka genggam. Untuk itulah Banyak
kesalahan dalam penyensoran namun banyak juga manfaat dari sensor-sensor yang
telah mereka buat. Sebaiknya kontrol tentang perfilman tidak hanya merupakan
tanggung jawab LSF dan lembaga rating saja, tetapi semua pihak terkait, mulai
dari Pembuat film juga harus bertanggung jawab atas filmnya, bioskop harus
memperketat, termasuk orangtua yang harus tetap mengawasi tontonan anak demi
terciptanya penerus bangsa yang berkualitas tanpa menyalahkan siapapun.
Budaya sensor
mandiri menjadi alasan masyarakat dalam menilai sebuah film yang layak ditonton
dan tidak karena kesadaran diri sendiri dan tidak terpengaruh dengan luar
lingkungan yang merusak nilai-nilai dengan harapan menjadikan manusia yang
memiliki kepribadian yang tegas, baik di agama dan nusa bangsa demi menjaga
kedaulatan bangsa Indonesia seutuhnya.
MERDEKA!!! yang ke-71 tahun (Whatever, I
Love Indonesia)